Sejak zaman dinosaurus masih menginjak-injak muka bumi dengan kaki besarnya, percakapan merupakan hal yang mutlak terjadi saat dua kepala bersua. Secara alamiah, salah satu cara manusia bisa berkembang adalah melalui ruang-ruang percakapan. Bercakap-cakap dan bertemu dengan orang lain sudah menjadi kebutuhan psikologis manusia secara menyeluruh. Tanpa adanya percakapan, bagaimana dunia bisa dipenuhi oleh manusia yang hidup berkelompok?
Percakapan hadir dalam bentuk yang tidak terbatas. Mengobrol, berdiskusi, berdebat atau sebutan lainnya, selama didalamnya terdapat unsur jual beli tanggapan, maka hal itu dapat disebut sebagai suatu percakapan. Lebih sederhana lagi, di Indonesia kita terbiasa dengan budaya “Basa-Basi”, yang juga merupakan bentuk dari percakapan.
Saking butuhnya kita untuk bercakap-cakap, seringkali kita mengagendakan sendiri ruang percakapan, dengan istilah yang biasa disebut dengan “nongkrong”. Nongkrong merupakan suatu wadah untuk kita dapat bertemu dengan satu atau beberapa teman sekaligus, dalam waktu dan tempat yang sama. Agenda nongkrong ini dimaksudkan agar kita dan teman-teman yang lain bisa bercakap-cakap, saling bertukar cerita dan membahas apa saja yang ada di seputar kita. Nongkrong merupakan media yang cukup efektif untuk melihat wujud sejati dari percakapan.
Layaknya sebuah lagu, percakapan memiliki dinamikanya sendiri. Dalam percakapan, terkadang terdapat bahasan-bahasan klise dan terkadang terdapat bahasan yang sangat menarik. Hal yang perlu dicatat, dalam percakapan selalu terdapat “tanda istirahat”, atau bisa disebut dengan jeda percakapan. Pada umumnya, tidak ada satu percakapan yang bisa berlangsung secara terus-menurus tanpa ada detik-detik untuk datangnya keheningan. Pasti akan hadir waktu dimana topik bahasan dan energi berbicara mulai habis, sehingga membutuhkan beberapa detik atau beberapa menit untuk memulihkannya. Hal ini sangat biasa terjadi, karena sejatinya hal ini merupakan semacam intermeso dari percakapan. Apabila dalam suatu pertunjukan seni yang menjadi intermeso adalah adegan-adegan dramatik singkat, dalam konteks percakapan, keheninganlah yang menjadi intermeso.
Di aman yang telah lama disetubuhi oleh perkembangan teknologi ini, sepertinya terdapat pergeseran cara dalam menerima jeda percakapan. Kini, kita seperti memiliki alergi jeda percakapan. Jeda percakapan yang dahulu dihabiskan dengan menatap pemandangan sekitar sembari menyeruput kopi, kini secara spontan dialihkan kepada dunia digital melalui ponsel. Entah mengapa, adanya keheningan dalam percakapan kini dianggap sebagai suatu kecanggungan. Tak melakukan apapun dalam hitungan menit dan hanya mengamati lingkungan sekitar seakan dipandang sebagai hal yang memalukan. Membuka dan membolak-balikan aplikasi-aplikasi dalam ponsel dan berlagak memiliki kesibukan di dalamnya menjadi semacam pelarian spontan untuk menghindari jeda percakapan, yang sekali lagi dianggap sebagai suatu kecanggungan. Padahal membuka ponsel dan berlaga sibuk bukan cara untuk melintasi jeda percakapan yang dianggap canggung, tapi justru memperlama adegan kecanggungan tersebut. Membuka ponsel dan sibuk masing-masing dalam jeda percakapan akan mematikan atau setidak-tidaknya menunda hadirnya topik diskusi baru. Membuka ponsel dalam situasi yang tak perlu hanya akan menjadi sebuah distraksi personal agar terlihat penuh kesibukan. Bahkan sebenarnya, membuka ponsel saat sedang dalam jeda percakapan adalah hal yang harusnya dianggap canggung. Bayangkan, disaat kita sudah menyepakati untuk bersua dengan orang atau beberapa orang di tempat dan waktu yang sama, hanya karena beberapa menit penuh hening, kita memilih untuk bertemu pada orang-orang atau tempat-tempat yang tidak ada di sekeliling.
Penulis: Ahmad Haydar
Thumbnail: ridpir.com