Fakta Lain Di Balik Film Sexy Killers

June 9, 2019
adminviaduct

Viaductpress.id – Sexy Killers belakangan ini menjadi pembicaraan hangat di tengah-tengah masyarakat. Film dokumenter garapan watchdoC ini disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono yang diunggah pada hari Sabtu tanggal 13 April 2019. Film buatan Indonesia ini menuai berbagai tanggapan, sebagian warganet menilai adanya muatan politik, tetapi sebenarnya film ini menceritakan kelamnya industri pertambangan di Indonesia.

Film Sexy Killers menyinggung juga mengenai akibat dari tambang batu bara yang jarang diketahui orang-orang. Akibatnya seperti, adanya korban jiwa yang terjadi di lubang galian yang tidak ditutup atau tidak direklamasi. Padahal reklamasi merupakan kewajiban perusahaan tambang.

Merah Johansyah dari Jaringan Advokasi Tambang (sebelah kanan kedua di panggung).

Pada kenyataannya perusahaan tambang banyak yang melakukan pelanggaran, “Banyak manipulasi di lapangan, perusahaan bekerjasama dengan pemerintah setempat atau kelompok yang pro dengan tambang agar lubang tidak ditutup, karena untuk menutup butuh biaya yang besar, besarannya terdapat pada Peraturan Menteri. Siasat mereka menjadikannya tempat wisata atau budidaya ikan.” kata Merah Johansyah dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAMNAS) sekaligus Produser Sexy Killers, pada acara diskusi Sexy Killers di Atma Jaya, Jakarta Selatan, Senin (27/05/19).

Berangkat dari pelanggaran yang dilakukan perusahaan tambang, maka korban tidak dapat dihindarkan. Korban datang paling banyak dari daerah Kalimantan, “Jadi dalam 4 tahun belakangan catatan kita ada 115 korban tewas di lubang galian tambang di seluruh Indonesia termasuk yang paling besar di Provinsi Kalimantan Timur. Di Kaltim aja ada 3500 lubang tambang, satu perusahaan tambang tidak hanya meninggalkan satu lubang, izin pertambangannya juga berjumlah 9700 izin.” tambah Merah.

Persyaratan berupa izin menjadi sebuah kewajiban bagi perusahaan-perusahaan tambang, perusahaan harus memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Merah juga menyinggung AMDAL yang sering sekali terlalu mudah untuk diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Merah juga kurang mempercayai AMDAL yang menurutnya sebagai izin yang sah untuk merusak lingkungan.

[Penulis: Mizzi Maqdizi dan Gema Bayu Samudra]

Leave a comment