Pernah gak sih kalian merasa takut tertinggal oleh teman sebaya atau yang biasa dikenal dengan istilah FOMO (Fear of Missing Out)? Pikiran-pikiran yang mulai bermunculan di fase transisi dari remaja ke dewasa muda seperti mempertanyakan kenapa teman-teman sebaya sudah mulai bekerja dan diri kita masih diam di titik yang sama. Melihat pencapain orang lain di usia yang sepantaran dengan kita yang lantas mendorong munculnya mindset bahwa hidup harus dihabiskan untuk bekerja. Ambisi inilah salah satunya yang menyebabkan keinginan untuk produktif secara berlebih atau yang dikenal dengan hustle culture.
Dikutip dari laman Kementerian Ketenagakerjaan, hustle culture itu sendiri adalah standar di masyarakat yang beranggapan bahwa mereka hanya bisa mencapai sukses kalau benar-benar mendedikasikan hidup untuk pekerjaan dan bekerja sekeras-kerasnya hingga menempatkan pekerjaan di atas segalanya atau yang biasa disebut sebagai “gila kerja”.
Fenomena ini pertama kali ditemukan pada tahun 1971 dan menyebar dengan cepat seiring dengan berkembangnya teknologi. Apalagi, semenjak era pandemi mobilitas kita menjadi terbatas dan intensitas penggunaan internet semakin meningkat. Di mana generasi yang paling banyak menguasai internet adalah generasi millennial. Maraknya seruan-seruan di internet agar tetap produktif meskipun di rumah saja juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan hustle culture menghantui para anak-anak muda.
Pendorong merebaknya hustle culture ini didominasi oleh dua faktor. Pertama ada faktor eksternal seperti stigma di tengah masyarakat yang menilai bahwa tolak ukur kesuksesan seseorang dilihat dari jabatan atau posisi yang tinggi dan pekerjaan yang stabil. Hal ini mendorong seseorang untuk bekerja lebih keras melebihi kapasitas mereka sebagai manusia dan kemudian muncul perasaan bersalah apabila dalam satu hari seseorang itu tidak bekerja, menyelesaikan tugas ataupun belajar. Ekspektasi-ekspektasi yang selalu menuntut para generasi muda untuk memberikan kontribusi lebih dibandingkan para pendahulu.
Selanjutnya, banyak orang yang mengglorifikasi hustle culture. Salah satunya tokoh terkenal seperti Elon Musk CEO Tesla dan SpaceX. Di laman Twitter pribadinya, Ia mencuitkan bahwa seseorang takkan mampu melakukan perubahan apabila hanya bekerja selama 40 jam per minggu:
“There are way easier places to work, but nobody ever changed the world on 40 hours a week.”.
Hal ini kemudian menormalisasi para anak muda untuk seringkali mengorbankan waktu istirahat dengan berada di depan laptop selama belasan jam dan mengabaikan kesehatan demi mencapai kesuksesan. Efek inilah yang kemudian dinamakan Burnout. Dilansir dari Help Guide, burnout adalah kondisi di mana seseorang kelelahan emosional, fisik, dan mental akibat stres berlebihan dan berkepanjangan.
Kemudian faktor internal yang muncul dari dalam diri sendiri ialah Toxic Productivity. Menurut Dr. Julie Smith seorang psikolog klinis asal Inggris, toxic productivity merupakan sebuah obsesi untuk mengembangkan diri dan selalu merasa bersalah apabila tidak bisa melakukan banyak hal.
Ada dua kunci yang paling fundamental agar tidak terjebak dalam hustle culture. Pertama, kita harus mengubah mindset bahwa kita bekerja untuk hidup bukan hidup untuk bekerja. Punya waktu luang bukan berarti harus merasa bersalah, malah sebaiknya kita gunakan waktu luang itu sebaik mungkin untuk menyenangkan diri sendiri.
Kedua, setiap individu punya jalan hidup serta waktunya masing-masing. Seorang Elon Musk pun waktu pertama kali merantau ke Amerika Serikat, ia hanya mempunyai modal sekadarnya. Hal yang paling penting adalah bagaimana kita mengoptimalkan potensi diri kita tanpa membandingkan diri dengan orang lain. Semua hal itu butuh proses, kita tidak boleh memaksakan diri secara berlebihan untuk mencapai suatu target. Memaksakan diri hanya akan memberikan dampak negatif dan berujung menjadi bumerang kepada diri sendiri.
Jadi, menjadi seorang pekerja keras itu baik tapi jangan sampai terbelenggu oleh budaya hustle culture. Tetap jaga keseimbangan antara karir dan kehidupan pribadi kamu ya!
Penulis: Tika Siagian
Thumbnail: klikdokter.com