Menunggu Kematian: Refleksi Seorang Pembunuh

April 18, 2024
adminviaduct

Di dalam sebuah sel yang sempit dan remang-remang, terdapat tulisan tanggal “21 April 2002” yang terukir di dinding batu bata kasar. Angka-angka itu seolah-olah menjadi pengingat akan takdir yang tak terhindarkan, mengingatkanku akan kedekatan akhir hidupku. Esok hari, fajar akan menjemputku menuju kematian, di tiang gantungan, sebagai hukuman mati atas dosa yang telah kuperbuat. Aku, seorang pembunuh, akan segera mengakhiri hidupku.

Udara dingin dan lembab menyelimuti sel, menembus tulang dan meresap ke dalam jiwa. Lantai tanah yang kotor dan berdebu menjadi alas dudukku. Aku duduk termenung di pojok sel, diselimuti oleh ketenangan yang mencekam dan kebulatan tekad yang tak tergoyahkan. Bayangan-bayangan masa lalu menghantui, menghadirkan kembali momen-momen kelam saat kegelapan hati dan amarah memenuhi pikiranku. Nyawa yang tak bersalah telah hilang di tanganku, darah mereka menjadi saksi bisu atas keadilan yang ditegakkan dengan cara yang kejam.

Penyesalan mungkin datang pada masa lalu, ketika kengerian masih menghantui pikiranku. Namun, kini, di ambang kematian, penyesalan itu telah sirna, digantikan oleh keteguhan dan penerimaan. Aku tak ingin memohon maaf kepada siapapun, karena aku yakin bahwa apa yang kulakukan adalah benar. Keadilan harus ditegakkan, meskipun harus dengan cara yang berdarah.

Aku sadar, tak ada yang bisa mengubah takdir. Kematian adalah harga yang harus kubayar atas pilihanku. Dan aku siap menerimanya dengan penuh keberanian. Di alam baka, aku berharap menemukan kebebasan dan kebahagiaan yang selama ini hanya kupimpikan. Aku ingin menebus dosa-dosaku, meskipun itu berarti harus mengorbankan nyawaku sendiri. Semoga di alam baka, aku dapat menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang tak pernah kurasakan di dunia ini.

Di sisa waktuku yang singkat, aku merenungkan makna hidup dan kematian. Aku bertanya-tanya, apakah aku pantas mendapatkan pengampunan? Apakah aku pantas menemukan kebahagiaan di alam baka? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalaku, tanpa jawaban yang pasti. Namun, satu hal yang pasti: aku takkan pernah melupakan dosa-dosaku. Aku akan selalu mengingat rasa sakit yang telah kuberikan kepada orang lain. Dan aku akan terus berusaha menebusnya, bahkan di alam baka.

Malam semakin larut. Keheningan di sel semakin mencekam. Aku memejamkan mata, mencoba untuk beristirahat sebelum fajar menjemputku. Pikiran dan hatiku dipenuhi dengan berbagai macam perasaan: ketakutan, penyesalan, harapan, dan tekad. Aku siap menghadapi takdirku, siap untuk mengakhiri hidupku di tiang gantungan. Kematian bukanlah akhir. Ini hanyalah sebuah permulaan baru, sebuah transisi menuju alam lain. Di sana, aku akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan dan menerima konsekuensinya. Aku berharap, di alam baka, aku bisa menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang selama ini tak pernah kutemukan di dunia ini.

Aku, seorang pembunuh, akan segera mengakhiri hidupku di tiang gantungan. Tapi ceritaku tidak berakhir di sini. Ceritaku akan terus hidup, sebagai pengingat bagi semua orang tentang bahaya amarah dan pentingnya menegakkan keadilan

 

Penulis: Gregorius Jeremia

Thumbnail: istockphoto.com

Leave a comment