Bila mendengar kata “Rajah” mungkin akan terdengar asing bagi beberapa orang yang mendengarnya. Seni Rajah atau yang biasa dikenal dengan sebutan Tato yang merupakan seni dengan gambar, tanda, atau lukisan yang berada dalam anggota tubuh. Teknisnya, Rajah dibuat dibuat dengan memasukkan pigmen ke dalam kulit menggunakan media jarum. Pada mulanya, seni merajah tubuh kerap memiliki pandangan negatif di kalangan masyarakat, banyak yang menganggap seseorang dengan tato dibadannya merupakan kriminal. Namun seiring berkembangnya zaman, seni merajah tubuh semakin popular dikalangan remaja. Generasi muda menganggapnya sebagai salah satu cara mereka untuk berekspresi, sehingga seni rajah memiliki pergeseran makna.
Masyarakat adat di Indonesia mengartikan tato merupakan lukisan yang menjadikannya simbol sebagai lambang kekuasaan, derajat, dan penanda suatu kelompok atau suku, salah satunya Suku Mentawai yang merupakan penghuni asli Kepulauan Mentawai sudah merajah tubuhnya ketika kedatangannya ke pantai barat di Sumatra pada Zaman Logam sekitar 1500 SM – 500 SM, yang kemudian menjadikannya sebagai suku dengan tato tertua di dunia. Bagi masyarakat Mentawai, tubuh yang dipenuhi dengan tato dari kepala hingga ujung kaki adalah busana abadi yang dapat dibawa hingga akhir hayatnya pun berfungsi guna menunjukkan jati diri, perbedaan status sosial, dan juga sebagai alat komunikasi. Tradisi Mentawai menganggap bahwa Tato merupakan simbol keseimbagan alam, dimana terdapat objek batu, hewan, dan tumbuhan yang dianggap memiliki jiwa.
Dalam kepercayaan Suku Mentawai, disebut dengan Arat Sabulungan. Berasal dari kata “sa” yang memiliki arti koleksi, dan “bulung” yang memiliki arti daun. Kemudian kumpulan daun tersebut disusun kedalam sebuah lingkaran dimana lingkaran tersebut terbuat dari kelapa atau pucuk pohon sagu, diyakini oleh Suku Mentawai mempunyai kekuatan magis yang memiliki sebutan “kere” atau “ketse” sebagai media dalam pemujaannya terhadap Dewa Laut (Tai Kabagat Koat), Dewa Hutan dan Gunung (Tai Ka-leleu), dan Dewa Awan (Tai Ka Manua)
Proses pembuatan tato Suku Mentawai jelas sangat berbeda dengan proses pembuatan tato di studio tato masa kini. Suku Mentawai memiliki tiga tahap yang merupakan proses panjang dan memakan waktu. Pada umur 11-12 tahun merupakan tahap pertama masyarakat Suku Mentawai merajah tubuh bagian pangkal lengan, dilanjuti bagian paha pada usia 18-19 tahun diikuti bagian tubuh lainnya ketika dewasa. Runcingan yang terbuat dari kayu arai merupakan media yang digunakan Suku Mentawai sebagai alat merajah, dan pigmen alami dari serpihan jelaga yang berasal dari kayu bakar serta bambu bakar kemudian dicampur dengan air perasan batang tebu. Tempurung kelapa merupakan wadah untuk menaruh campuran pigmen karbon alami, dan akan dibawa ke Sikerei supaya memulai proses rajah di suku tersebut.
Berbeda dengan proses pembuatan tato di studio tato professional, Suku Mentawai jelas mempunyai cara tradisional dalam prosesnya. Runcingan kayu yang ujungnya dibaluri dengan campuran pigmen alami dipukul-pukul dengan bantuan alat kayu guna memasukkan pigmen pewarna alami kekulit. Tak jarang proses merajah tubuh dengan cara tradisional dapat memberikan efek demam karena akan dilakukan secara berulang-ulang dengan waktu yang tidak singkat.
Sipatiti merupakan sebutan untuk seorang laki-laki yang diagungkan karena akan merajah tubuh masyarakat Mentawai. Pada zaman modern, tattoo artist jelas dibayar menggunakan uang untuk tanda jasa pembuatan tato. Berbeda dengan Suku Mentawai yang menyiapkan pesta besar dengan santapan babi sebagai tanda jasa Sipatiti. Sebelum proses rajah dimulai,dan diatur terlebih dahulu melalui upacara pertama yang akan dipimpin oleh Sikerei di Puturukat (Galeri milik Sipatiti).
Suku Mentawai merupakan salah satu suku yang dikenal dengan tatonya yang khas, mulai dari makna hingga proses sampai akhirnya selesai jelas sangat berbeda dengan proses pembuatan tato yang diniliai sangat ringkas dan tidak rumit. Seiring berkembangnya zaman, tato semakin digemari kawula muda sebagai salah satu bentuk mereka bebas berekspresi. Terlepas stigma sebagian masyarakat yang masih menganggap seni rajah atau tato adalah identitas seorang preman atau kriminal.
( Penulis : Wulan Nurasih Dian Putri )
Sumber Foto : Pesona Indonesia Kompas