Sepucuk Surat

April 26, 2019
adminviaduct

Rey, semoga saja kamu baca ini.
Aku masih ingat pertemuan kita pertama kali. Sore itu, di lapangan sekolah kamu berjalan keluar lapangan dan aku berjalan masuk ke lapangan. Dengan arah yang berbeda, aku bisa melihat jelas wajahmu di sore itu. Senyumanmu, tatapanmu yang lurus, membuatku tak bisa berhenti menatapmu. Nyatanya sore itu adalah awal dari semuanya.Keesokannya aku baru tau kalau kamu kakak kelas 12. Apalah dayaku yang cuma anak kelas 10, anak baru lulus smp, masih anak-anak, masih dekil, dan tak terlihat. Aku tau mustahil untukku bisa dekat denganmu yang kala itu menjadi primadona sekolah. Populer, tampan, baik, ramah, pintar, bahkan ketika lulus SMA kamu akhirnya diterima di ITB, tak hanya itu kamu pun peraih nilai UN ekonomi tertinggi, jikalau dibandingkan denganku apa mungkin kamu melihatku?

Aku rasa aku tidak perlu menjelaskan lagi perasaanku, dengan surat ini seharusnya kamu tau bagaimana perasaanku. Selama melewati masa-masa SMA, pikiranku tetap terjebak pada lapangan sore itu, sangat indah. Sengaja kukirim surat ini setelah aku akhirnya lulus SMA, supaya kamu tidak bisa mencariku lagi. Kalaupun suatu hari kita akhirnya bertemu, setidaknya kali ini aku bisa tersenyum lebih lega.

Salam hangat,
Tania
Dengan berat kuhembuskan nafasku untuk yang kesekian kalinya. Surat ini baru saja kudapat dari adikku ketika keluargaku membersihkan rumah untuk pindahan. Bisa dikatakan surat ini lima tahun tidak pernah dibuka. Pundakku terasa berat ketika membacanya, dan dadaku terasa sesak.
Langkah kakiku membawaku pergi keluar dari gedung kantor untuk menghirup udara segar, menyedihkan. Berjalan memasuki toko buku, kupikir akan membantuku menjernihkan pikiran. Tak habis pikir ternyata dia merasakannya, dan lucunya itu juga yang kurasakan tentang dia, hanya saja aku dulu terlalu fokus dengan impianku masuk ITB. Seandainya surat itu kubuka lebih cepat, apa semuanya akan berubah sekarang? Kalaupun akhirnya bertemu, apa yang harus kukatakan?

“Permisi”
“eh, iya sorry sorry” ucapku seraya membalikkan badan
“ng.. tania?”
Nyatanya benar kata orang-orang, kalau memang sudah saatnya bertemu, pasti akan bertemu. Dari sekian hari dan tempat, lucunya aku bertemu dia, seorang gadis yang dulu kuingat sering melihatku dari atas lapangan, Tania. Kali ini dia tersenyum lebar, sama seperti isi surat itu.
“Tania, kan?” ucapku tersenyum lembut
“iya…”

[Penulis: Florencia Melati]

Leave a comment