Kebanyakan orang mengetahui bahwa kebutuhan utama manusia merupakan sandang, pangan dan papan, bukan? Tetapi di dunia digital yang tidak dapat dihentikannya ini, kebutuhan aktualisasi diri manusia sungguh tidak dapat dipungkiri. Baik hal sederhana seperti meng-‘update’ status di Whatsapp ataupun mem-posting sebuah video di Youtube, kebanyakan dari kita pastinya menjadikan media sosial sebagai rutinitas sehari-hari.
Sebagian besar dari kita menerima begitu saja bahwa kemewahan dunia digital merupakan kemewahan yang secara mutlak berbentuk positif. Sikap ini bahkan menyentuh persepsi kita terhadap layanan seperti media sosial. Penelitian terhadap demografi 16-24 tahun menunjukkan bahwa jam yang dipakai mereka di media sosial pada tahun 2019 merupakan 195 menit. (dilansir dari bbc.com) Nah,apakah ini terdengar seperti familier? Tentunya dengan wabah corona yang sedang merajalela, penggunaan ponsel genggam termasuk media sosial makin meningkat kan?
“Penelitian menunjukkan bahwa orang yang menghabiskan lebih banyak waktu di media sosial kurang bahagia,” imbuh Ashley Williams, asisten profesor Sekolah Bisnis Harvard. National Center for Health Research meneliti juga bahwa remaja yang menghabiskan waktu lebih dari lima jam sehari di media sosial 71 persen lebih berpotensi untuk mengalami gangguan mental. Angka tersebut lebih besar dibandingkan remaja yang hanya mengakses media sosial satu jam dalam sehari.
Dengan tingkat kecemasan dan depresi tertinggi sepanjang masa di kalangan anak muda, terutama Gen Z, inilah saatnya kita memperhitungkan bahaya sebenarnya yang ditimbulkan oleh penggunaan yang begitu berat. Beberapa dari banyak penyakit mental yang berhubungan dengan media sosial merupakan depresi serta anxiety disorder. Gangguan mental seperti depresi dan anxiety disorder akibat media sosial dipicu oleh rasa ketidakcukupan dan iri terhadap kehidupan yang bisa dibilang fiktif.
Sangat mudah untuk melihat mengapa media sosial berpengaruh pada kita. Kita terikat untuk menjadi hiper-responsif terhadap isyarat sosial sehingga kadang lupa bahwa orang yang terpapar layar ponsel bukanlah standar sosial yang harus kita patuhi. Yang kita lalai untuk perhatikan bahwa kehidupan yang dipilih orang lain untuk ditunjukkan bukan merupakan kehidupan asli mereka. Baik mencari foto terbaik sehingga photoshop, berbagai cara dilakukan untuk seakan-akan tampil di kehidupan yang sempurna.
Untuk mengatasi hal ini, ada beberapa hal yang kita bisa lakukan agar apa yang ditampilkan oleh orang lain di media sosial tidak mempengaruhi kita secara buruk. Pertama dengan menyadarkan diri bahwa tidak semua hal yang dipsoting merupakan kenyataanya. Dengan mengubah perspektif, kita dapat berpikir secara rasional. Kedua adalah dengan menjadikan apa yang dilihat sebagai motivasi bukan batu sandungan. Banyak model dan selebgram yang memiliki kehidupan sehat. Dengan menjadikan mereka sebagai motivasi, kita bisa ikut serta menigkatkan kualitas hidup kita sendiri. Dan yang terakhir merupakan rehat sosial media.
Banyak orang yang mulai melakukan rehat media sosial karena mereka sadar bahwa medsos sendiri berefek buruk dan membebankan mental mereka di kehidupan sehari-hari. Rehat media sosial bisa dilakukan dengan menghapus aplikasi-aplikasi media sosial di ponsel atau me log out dari akun masing-masing selama jenjang beberapa hari hingga satu minggu. Dengan melakukan ini, kita bisa menyadarkan diri sendiri bahwa yang penting adalah kualitas orang-orang disekitar kita bukan betapa estetiknya foto yang kita posting di media sosial.
(Oleh: Anabelle Suhaidi)